Sabtu, 18 Juni 2016

Makna Menahan Lapar dan Haus di Bulan Ramadhan

Struktur Pengelola Pascasarjana UIN Sumatera Utara Medan Tahun 2016. • Mediamuallaf.com
Oleh : Drs H AHMAD BANGUN NASUTION, MA
Ketika bulan Ramadhan menjelma banyak umat Islam berkemas menanti datangnya bulan suci itu. Dengan suka ria gembira, sibuk menziarahi kuburan keluarganya, menyiapkan tepung puasa, satu puasa minyak puasa, kayu api puasa, kurma, masak, strop manis juadah yang sedap dan halwa-halwa yang lezat. Semua itu mereka namai keperluan puasa, boleh saja mereka merasa gembira dapat mengumpulkan bahan yang mereka hajat itu asalkan tidak memberatkan diri dan memboroskan belanja karena puasa.
                
Makan dan minum yang nikmat bukan tidak diperbolehkan dalam aturan agama. Boleh saja kaum muslimin menikmati makanan dan minuman yang nikmat-nikmat. Meski demikian kaum muslimin harus memperhatikan rambu-rambu dalam soal makanan yakni harus halal dan baik. Artinya dalam soal makanan dan minuman ini kaum muslimin bukan hanya boleh makan makanan yang halal saja tetapi juga harus baik, nasinya baik dan lauknya juga baik.
                
Dalam bulan suci Ramadhan kita umat Islam menahan diri tidak makan dan minum, mulai terbit fajar sehingga terbenam matahari serta menahan diri dari segala hal yang dapat membatalkan puasa. Menahan rasa lapar entah dalam bentuk berpuasa atau mengurangi makan sebagai ekspresi riyadhan juga merupakan syarat mutlak yang harus ditempuh oleh para spiritual. Tak ayal inilah amalan yang dilakukan oleh para Nabi/Rasul para sahabat, para tab’in tabi ‘itta’in, para sufi para ulama para syuhada dan orang shaleh lainnya.
                
Junjungan kita Nabi Muhammad SAW pun ternyata dalam kesehariannya tak pernah merasakan kenyang kesaksian sang istri tercintanya Siti Aisyah ra yang pernah mengatakan, ”Keluarga Muhammad SAW tidak pernah kenyang dari roti gandum selama dua hari berturut-turut sampai Rasulullah SAW meninggal,” (Hr. Muslim).
                
Hal ini mengisyaratkan bahwa kehidupan rasul benar-benar penuh dengan riyadhah atau mujahadah sebagai ekspresi keprihatinan. Bahkan Aisyiah dilain kesempatan juga mengatakan, ”Kami keluarga Muhammad SAW pernah selama sebulan tidak menyalakan api (untuk memasak) selain hanya makan kurma dan air,” (Hr. Muslim ).
                
Itulah kehidupan Baginda Rasulullah Saw yang akrab dengan berlapar-lapar dalam kesehariannya. Itulah ekspresi sang spritualis sejati yang dimaksudkan semata-mata untuk mendekatkan diri kepadaNya. Oleh karena itu kaum muslimin diharapkan meneladani teladan Rasulullah SAW dalam menjalankan ibadah puasa yang mengisyaratkan dengan jelas dalam keadaan lapar.
               
Masalah menahan lapar dan haus bukan hanya di bulan Ramadhan saja. Menurut Imam Al-Qasthalani, orang yang perutnya sering dalam keadaan lapar atau karena berpuasa, maka ia merupakan metode yang ampuh untuk melembutkan hatinya. Hal itu ditandai misalnya dengan kemudahan meneteskan air matanya, karena gampang tersentuh oleh ketidakadilan dan keadaan.
                
Orang-orang kafir miskin yang serba kekurangan. Dengan hati mudah yang berempati seperti itu. Seseorang akan merasakan kebahagian yang tak terkirakan karena kedekatan dengan Allah SWT. Sebaliknya jika seseorang perutnya kekenyangan, hal itu akan mendatangkan kemudharatan antara lain : Pertama, akan menyebabkan hilangnya cahaya kebajikan.
                
Kedua akan menyebabkan kerasnya hati pelakunya, ketiga, akan mendorong untuk berbuat yang haram atau yang dilarang oleh agama. Keempat dengan kekenyangan akan menyebabkan mudah mengantuk dan tidur. Kelima, Yahya bin Mu’az  mengatakan, ”Barang siapa kekenyangan, maka akan malas untuk bangun malam. Artinya jika perut dalam kondisi yang wajar (tidak terlalu kenyang dan lapar) maka menyebabkan seseorang bisa bangun malam untuk mengerjakan shalat malam.
                
Keenam jika seseorang terlalu sering dalam keadaan kekenyangan maka akan terbelenggu syahwat nafsu. Menurut Sayyid Ahmad Mansyur, salah satu kiat praktis untuk memerangi mengendalikan hawa nafsu yakni dengan menahan rasa lapar bukanlah sekali-kali puasa itu diperintahkan supaya manusia melepaskan kekenyangan nafsunya menerkam berbagai makanan yang membangkitkan berbagai selera yang menyebabkan maidah penuh padat sara.
                
Kita dapat berbagi macam manusia di bulan Ramadhan yang menyediakan makanan yang bermacam juga minuman yang beraneka ragam untuk berbuka. Mereka tidak memelihara undang-undang makan dan syarat-syaratnya.
                
Karena itu banyaklah diantara mereka yang mendapat sakit. Sejak dari pukul lima meja makan telah penuh sesak dengan halwa-halwa, kopi, coklat, mentimun, pisang, kelapa muda, mangga masak, sauh, jeruk, manggis, timphan, dan sebagainya.
                
Begitu tabuh berbunyi kita lihat tangan bermain diatas meja memperminkan garpu dan sendok. Mereka memenuhkan maidhahnya dengan rupa-rupa makanan, mereka mengukur kesedapan makanan dengan lidah bukan dengan ukuran perut.
                
Satu hal yang sangat penting bagi kita dalam menghadapi bulan suci yang menjelang tiba ini adalah persiapan kesehatan tubuh kita masing-masing. Yang jelas diriwayatkan, oleh At-Turmudzi dan Al-Miqdham bin Madikariba, bahwa Rasulullah SAW bersabda, ”Cukuplah bagi anak adam beberapa suap nasi untuk meneguhkan tulang sulbinya, jika memang sangat perlu dibanyakkan (hendaklah maidah itu dibagi) sepertiganya untuk makanan, sepertiganya untuk air dan sepertiganya untuk nafas,”.
                
Karenanya wajiblah atau orang yang berpuasa : Pertama mencukupi makanan dalam puasa sekedar yang perlu saja, Kedua, memakan makanan yang mudah hancur dikala berbuka, seperti kuah sup, Ketiga, menyempurnakan makanan sesudah shalat Magrib, Keempat menyedikitkan makanan, jangan terlampau sangat kekenyangan.
                
Hendaknya kita ingat di bulan Ramadhan ini atau bahkan setiap saat firman Allah SWT pada surah Al-Araf : 30 yang artinya makanlah kamu dan minumlah kamu janganlah kamu berlebih-lebihan karena Allah tiada menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. Dan juga pepatah yang masyhur menetapkan, perut itu pangkal penyakit dan pantang itu pangkal penawar.

• Penulis adalah : Dosen FITK UIN Medan-SUMUT.

Artikel Terkait


EmoticonEmoticon